Jumat, 28 November 2008

Hermeneutika? Santai ajalah…


2.jpg

Seperti Anda ketahui, ada makhluk asal Yunani yang sering kita dengar namanya: Hermeneutika. Hermeneutika konon berasal dari nama Hermes, dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas mengantar dan menafsirkan pesan-pesan para dewa untuk manusia.

Belakangan ini, turunan dewa Hermes itu suka bergentayangan di lingkungan studi Islam. Dari seminar ke seminar, si Hermeneutika berhasil menimbulkan kegairahan pada sebagian, dan kegelisahan pada sebagian lain.

Saya pun ikut penasaran dibuatnya. Melalui beberapa literatur yang ada, saya menemukan bahwa si Hermeneutika itu ternyata tidak sebinal yang dibayangkan oleh sebagian, tapi juga tidak sebahenol yang digambarkan sebagian lain.

Ia ternyata hanyalah sejenis ilmu untuk menafsirkan teks. Dan yang lebih melegakan lagi, makhluk ini ternyata tidak harus selalu bersanding dengan teks suci dan hal-hal suci lainnya. Ia juga bisa melayani keingintahuan manusia pada level yang jauh lebih rendah.

Misalnya, saat kita mendengar atau membaca seseorang menyatakan bahwa “Nabi Muhammad belajar dari kalangan akademis Kristen dan Yahudi”, maka turunan dewa Hermes ini bisa membantu kita menafsirkan maksud di balik teks tersebut.

Setidaknya empat cara untuk menafsirkan teks seperti ini. Pertama, menafsirkan kata demi kata mengikuti kaidah2 tatabahasa, lantas merujukkannya dengan keseluruhan dan sebaliknya sehingga kita menemukan “lingkaran hermeneutik”. Kedua, melihat individualitas pembicara (speaker) atau pengarang (author) teks. Ketiga, melihat medium penyampaian teks itu sendiri (bersandar pada the medium is the message). Dan keempat, situasi dan zaman penyampaiannya (zeitgeist).

Kombinasi keempat cara ini akan memudahkan kita memahami maksud si pembicara atau pengarang. Karena itu, si Hermeneutika kerap disebut sebagai dewa penyelamat kesalahpahaman.

Banyak di antara kita yang dipengaruhi oleh emosi saat menafsirkan teks, apalagi saat kita menafsirkan teks yang membincangkan hal-ihwal yang kita junjung tinggi. Kecuali orang yang sama sekali tak punya penghargaan terhadap Nabi dan al-Qur’an, kita jelas tidak suka dengan penggunaan kata-kata tertentu yang dapat merendahkan derajat tinggi keduanya. Nah, seorang pengarang juga tidak bisa keluar dari pengaruh yang sama saat dia mengarang dan memproduksi teks. Maksudnya, menurut saya, pengarang mana pun pasti menyadari adanya sensivitas menyangkut hal-hal yang disucikan.

Pada titik ini, sebenarnya ada kesalingpahaman yang menghubungkan pengarang biasa dengan penafsir (pembaca) biasa. Ada bahasa terbakukan yang lazim mereka pakai untuk bertukar pesan. Karena itu, saat pengarang bermaksud menghina, maka dia akan memilih tanda baca, diksi, asumsi, referensi, medium dan waktu tertentu yang dapat mempertegas maksud penghinaannya. Dan pada gilirannya, penafsir akan dengan mudah menangkap pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang itu.

Memang, boleh jadi pengarang kurang cerdas dalam memproduksi teks, sehingga dia mengesankan apa yang sebenarnya tidak dia maksudkan. Demikian pula sebaliknya: penafsir juga bisa gegabah menangkap maksud yang tidak pernah disampaikan oleh si pengarang. Di sinilah perlu ada pembacaan ulang, baik oleh si pembaca maupun—terutama—oleh si pengarang.

Bagaimanapun, si Hermeneutika tak harus melulu dipakai dalam soal teks2 suci. Dia adalah turunan Hermes yang siap membantu Aladin mana saja untuk membedah teks milik siapa saja. Dan sebaiknya memang Hermeneutika bermain-main sama kita di sini saja, daripada melanglang buana ke tempat2 nun tinggi di atas sana. Nyok kita Hermeneutika-kan orang2 yang meng-Hermeneutika-kan teks-teks suci.

Selamat ber-Hermeneutika kembali, di gelombang dan waktu yang sama.

Tidak ada komentar: