Rabu, 20 Mei 2009

Hillary Clinton dan Skenario Balkanisasi NKRI

Menteri Luar Negeri baru Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton berkunjung ke Jakarta bulan Februari lalu, begitu dahsyat antusiasme kalangan elit politik Indonesia menyambut istri mantan presiden AS tersebut. Sampai-sampai mengundang decak kagum luar biasa, hatta masyarakat awam sekalipun. Jelas kunjungan itu sangat istimewa mengingat Indonesia adalah Negara muslim yang pertama yang di kunjungi Hillary.
Bintang Kejora
Bendera bintang kejora berkibar tepat di jantung Inggris
Yang patut di intip adalah bahwa, mantan isteri Presiden Amerika Bill Clinton itu tidak sekadar datang dan mengadakan pertemuan dengan presiden beserta para menteri di Jakarta lalu pulang. Melainkan juga menjalin serangkaian pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat seperti para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat seperti yang digelar di Gedung Perpustakaan Nasional.

Ini memang sebuah model dan gaya dari strategi Diplomasi Publik yang diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika bahkan sejak era kepresidenan George W. Bush. Hanya saja, kebijakan luar negeri Bush yang memprioritaskan pada pendekatan militeristik yang ofensif terhaap berbagai negara berkembang, terutama negara-negara berpenduduk Islam, semantara Obama lebih mengedepankan pada gaya dan strategi diplomasi Publik. Dan inilah yang tengah diperagakan oleh Hillary ketika melawat ke Indonesia Februari lalu. Untuk itulah Hillary selalu antusias dan menyempatkan hadir dalam acara-acara “dolanan”, hiburan musik dll yang tidak selayaknya seorang utusan Negara super power ikut menyaksikan bahkan menontonnya.

Skema dan kebijakan strategis pemerintahan Obama pasca Bush ini harus dicermati secara seksama. Justru latarbelakang Obama yang pernah mukim di Indonesia, secara sadar atau tidak bisa dimanfaatkan sebagai intrumen psikologis untuk menaklukkan ego para elit politik di pemerintahan maupun DPR.

Hillary Clinton bulan Februari lalu telah kunjung ke Indonesia, namun, apakah ada perubahan secara fundamental dari sisi motivasi Amerika sebagai kekuatan global yang bertujuan menguasai dunia? Sampai detik ini, belum ada perubahan yang berarti alias sama saja.

Tidak percaya? Dalam kampanye Obama, meski dia secara tegas akan menarik mundur pasukan Amerika dari Irak, tapi lucunya Obama malah mendesak agar jumlah pasukan Amerika di Afghanistan malah diperbanyak.

Ada apa di balik opsi yang diambil Obama tersebut? Tak sulit menjawabnya. Afghanistan tidak saja berbatasan dengan Pakistan yang selama ini berada dalam pengaruh Amerika baik dari segi politik maupun militer, tapi pada saat yang sama Afghanistan adalah negara yang secara langsung bisa mengakses negara-negara Asia Selatan yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet. Seperti Khazakstan, Uzbekistan, Kirgistan, dan lain sebagainya. Selain itu Afghanistan adalah Negara yang berbatasan langsung dengan Iran.

Artinya, meski Obama dan Clinton memilih pendekatan non-militer dalam menarik simpati dan dukungan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, namun cukup jelas bagi mereka seperti kasus di Afghanistan, Obama dan Clinton tidaklah jauh berbeda dengan Bush Kecil dan Condy.

Kepentingan Strategis AS di Indonesia
Dengan cara pandang tadi, maka lawatan Menlu Clinton ke Jakarta Februari lalu pastilah sarat dengan kepentingan dan strategis. Meski dalam pernyataannya setelah bertemu Menlu Hassan Wirajuda Menlu Clinton memuji praktek demokrasi di Indonesia, namun yang tersirat adalah sebuah peringatan dan warning bagi Indonesia supaya jangan sekali-kali mempunyai keinginan untuk merubah. Tetaplah pada pola yang ada saat ini. Tetaplah pada setingan Amerika. Inilah pesan yang disampaikan oleh Clinton ke SBY waktu itu.

Di sinilah sisi rawan dari platform politik pemerintahan Obama. Dengan jargon demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi duri dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke depan.

Apalagi sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika bernama Rand Corporation, yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon, internasionalisasi Aceh ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang.
Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi delapan bagian.

Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.

Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.

Apa yang diinginkan oleh Pentagon dari skenario Rand Corporation Clinton..? itu Artinya, skenario ”Balkanisasi Nusantara” menjadi opsi yang logis untuk diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika di era Obama dan Hillary Clinton.

Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa pemerinthana Habibie. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan ( telah ) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun ini. Kemudian Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya tetap Indonesia.

Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer.

Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.

Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.

Dalam kaitan ini pula, Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.

Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari skenario internasionalisasi Aceh, Irian Jaya, dan daerah-daerah lainnya yang berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI.

Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini.

Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode yang berbeda.

Baik Bush maupun Obama agaknya menyadari bahwa konstalasi negara-negara di kawasan Amerika Latin yang notabene merupakan daerah halaman belakang mereka, ternyata semakin sulit untuk dikontrol. Dan bahkan berpotensi menjadi negara musuh Amerika.

Perkembangan terkini adalah menangnya calon presiden El Salvador yang berhaluan sosialis Mauricio Funes. Ekuador yang sekarang dipimpin oleh Presiden Rafael Correa seorang sosialis yang mengagendakan perlunya revolusi dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Luis Inacio Lula dari Brazil yang memprioritaskan pengamanan energi, Evo Morales dari Bolivia yang menekankan programnya pada nasionalisasi industri gas, pertambangan dan kehutanan. Serta pengembalian tanah rakyat kepada petani miskin, perlindungan warga Indian, dan sebagainya.

Beberapa presiden Amerika Latin yang berhaluan kiri-tengah adalah Presiden Chilie Michele Bachelet dan Presiden Peru Alan Garcia. Dan di atas itu semua, Hugo Chavez dari Venezuela yang belakangan perseteruannya dengam Amerika semakin menajam justru ketika Amerika dipimpin Obama yang lebih moderat dari Bush.

Perkembangan beruntun di Amerika Latin tersebut tentu saja mencemaskan Amerika, meski sebagai negara kecil tidak perlu dikhawatirkan secara kemiliteran. Namun ketika negara-negara tersebut tidak lagi kooperatif baik secara politik maupun ekonomi, jelas hal ini sangatlah mengganggu.

Apalagi ketika hal itu kemudian memicu kedekatan negara-negara latin tersebut kepada Cina, Rusia, Korea Utara, Iran dan lain sebagainya.

Maka waspadalah……. !!.

Tidak ada komentar: