Rabu, 27 Mei 2009

Raja Media dan Kepentingannya di Indonesia



Media
Media
Dalam sebuah wawancara dengan seorang pengamat media di Jakarta (yang tidak mau disebutkan namanya), persoalan dominasi media sebagai “tangan kepentingan” pihak asing sangat mengemuka. Berikut petikan perbincangan tersebut.

Begini, bagi sebagian orang, ideologi itu kan sudah mati; yang ada hanyalah kepentingan. Elit politik kita itu sesungguhnya kosong dari agenda. Mereka hanyalah karikatur dan kertas karton (wayang) yang dimainkan. Atau kasarnya, bangkai-bangkai yang mengejar kekayaan dan kekuasaan. Dalam daftar kepentingan mereka, yang paling bawah itu adalah rakyat; paling rendah dalam daftar prioritas mereka. Beginilah jadinya. Karena itu, mereka dengan mudah mengangkat orang yang sama sekali tidak memiliki kepedulian terhadap rakyat banyak, dan di sisi lain menjatuhkan orang yang memiliki kepedulian. Kita tahu, dalam media ada istilah agenda setting.

Bagaimana Anda melihat fenomena penguasaan media di Indonesia?

Sebetulnya, media massa kita sekarang ini sudah menjadi alat kepentingan. Siapa yang mereka wakili? Tentu, bukanlah masyarakat luas. Kepentingan yang mereka wakili adalah para pemilik modal; pemilik media itu sendiri atau korporasi yang mendanai kegiatan media bersangkutan. Ini bukan rahasia lagi dan semua orang tahu. Misalnya, di Indonesia ini hanya ada tiga atau empat orang saja yang menjadi pemilik media yang sangat banyak itu. Misalnya, Hary Tanu Sudibyo pemilik MNC yang terdiri dari RCTI, Global TV, dan TPI, plus Koran Seputar Indonesia. Satu orang memiliki empat media besar. Lalu, Khairul Tanjung pemilik Trans TV dan Trans7. Kemudian Abu Rizal Bakrie, pemilik ANTV dan TV ONE. Kita tidak tahu agenda apa yang ada di balik itu, tapi kita tahu mereka punya agenda. Yang jelas, mereka memiliki agenda yang tidak membela kepentingan masyarakat luas; hanya membela kepentingan korporasi. Kita tahu, mereka juga memiliki bisnis lain. Jadi, media hanya menjadi corong kepentingan saja.

Nah, kepentingan mereka itu apakah kepentingan ekonomi dengan kendali kepentingan ideologis dari luar, ataukah mereka sendiri memang memiliki kepentingan ideologis tertentu?

Begini, bagi sebagian orang, ideologi itu kan sudah mati; yang ada hanyalah kepentingan. Elit politik kita itu sesungguhnya kosong dari agenda. Mereka hanyalah karikatur dan kertas karton (wayang) yang dimainkan. Atau kasarnya, bangkai-bangkai yang mengejar kekayaan dan kekuasaan. Dalam daftar kepentingan mereka, yang paling bawah itu adalah rakyat; paling rendah dalam daftar prioritas mereka. Beginilah jadinya. Karena itu, mereka dengan mudah mengangkat orang yang sama sekali tidak memiliki kepedulian terhadap rakyat banyak, dan di sisi lain menjatuhkan orang yang memiliki kepedulian. Kita tahu, dalam media ada istilah agenda setting. Yaitu, melaksanakan sebuah agenda dengan menggunakan media sebagai alat. Misalnya, menyalurkan kepentingan kelompok pasar bebas. Mereka tahu, kalau memilih orang yang memiliki ideologi atau prinsip, itu sangat berbahaya. Makanya, mereka akan memilih orang yang sifat kepemimpinannya transaksional, bukan transformatif. Jadi, mereka akan memilih orang yang selalu berkata, “Anda mau memberi saya apa, kalau saya memberi sesuatu.” Bukan yang berkata, “Saya akan memperjuangkan kepentingan rakyat dan ini tak bisa ditawar-tawar.” Jadi, semua bisa ditawar, asal ada harga atau ongkosnya. Ini sungguh sangat berbahaya, tapi sebagian besar masyarakat kita tak mengetahuinya. Kalau yang terpelajar, jelas tahu. Meskipun, dari yang terpelajar itu mesti dibagi lagi; ada yang tahu dan peduli tetapi ada pula yang tahu tapi tak peduli.

Jadi, grand design-nya dari luar dan media di Indonesia itu hanyalah tangan saja untuk membuat arah perubahan yang dikehendaki oleh pihak asing di negeri ini?

Ya, kita sesungguhnya tidak bisa mengatakan “asing”, karena terkadang maksudnya adalah asing terhadap kepentingan rakyat banyak, bukan asing dari segi ras misalnya. Makanya, kita katakan tadi bahwa mereka itu menempatkan kepentingan umum di nomor urut paling bawah. Kalau kita perhatikan, mereka itu tidak memiliki hubungan dengan masyarakat luas. Hubungan mereka hanya melalui pencitraan-pencitraan di media, yang sudah di-design untuk menampakkan bahwa mereka memiliki kepedulian. Kalau kita perhatikan, dalam puluhan tahun terakhir ini rakyat kita hanya kebagian angka; pertumbuhan ekonomi sekian, inflasi sekian, dan penguatan rupiah sekian. Padahal, nasib mereka tak pernah berubah. Coba kita lihat keadaan rakyat dalam tiga atau empat puluh; tak ada perubahan! Mungkin saja orang akan mengatakan sekarang kredit motor gampang, tetapi harus diingat bahwa itu kredit. Orang yang punya kredit itu lebih besar masalahnya ketimbang yang tak punya. Mereka merasa lebih maju, padahal itu hanya angka-angka. Benar, orang-orang itu yang membuatkan untuk kita angka-angka tetapi kita hanya kebagian angka-angkanya. Dan medialah yang menghembuskan pertumbuhan ekonomi kita sekian dan sekian. Cuma yang tumbuh itu apa, rakyat kebanyakan tidak tahu. Jadi bayangkan, apa yang disajikan media itu sangat tidak mendidik dan tak mencerdaskan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan perekonomian kita tak pernah dijelaskan selain angka-angka itu tadi. Lantas, kita mau mengharapkan apa dari media yang seperti ini?

Kalau menyuruk ke persoalan cara-kerja mereka Ustadz, tahrif atau distorsi atau disinformation itu dilakukan oleh media kita ini dengan cara mengubah teksnya atau konteksnya, atau kedua-duanya?

Bisa kedua-keduanya, tapi yang paling dipilih adalah dengan mengubah konteksnya. Terlalu nekad kalau sesuatu yang tidak faktual kemudian dibuat-buat; terlalu mudah diketahui. Namun yang mereka sajikan fakta memang, seperti pertumbuhan ekonomi misalnya, tapi yang tumbuh itu siapa, tidak pernah dijelaskan. Mereka yang anti-neoliberalisme menggugat, bagaimana cara penguasa merumuskan angka-angka pertumbuhan itu. Sesungguhnya, ini distorsi atau disinformasi secara besar-besaran karena angka itu tidaklah mewakili sektor riil. Sektor non-riil itu kan tidak mewakili orang banyak. Itu hanya berhubungan dengan orang-orang yang berada di BEJ (Bursa Efek Jakarta) dalam ruangan sejuk; dari hotel ke hotel, dan seterusnya. Sementara, ketika mereka mengambil kebijakan untuk menaikkan harga premium, misalnya, semua orang terkena. Jadi, mereka memang melakukan cara kedua, yaitu memasukkan teks-teks itu ke dalam konteks yang sudah tersesat.

Ini tentu lebih berbahaya dan skalanya bisa sangat luas serta aspek penyadarannya bagi masyarakat tentu menjadi lebih sulit?

Lebih rumit, benar. Kalau sesuatu yang tidak ada dibuat-buat, maka lebih mudah untuk menunjukkan bahwa tidak demikian keadaannya. Tetapi kalau mereka memasukkan teks itu dalam konteks penyesatan, ini sangat berbahaya. Dalam terminologi al-Quran, kata Dhalin itu kan dalam bentuk kata kerjanya adalah “penyesatan”. Jadi, penyesatan itu bukannya tidak ada. Mereka mengubah kalimat-kalimat pada penempatan yang tidak semestinya; mengacaknya. Itulah yang terjadi.

Kalau dalam al-Quran, terminologi itu sering dikaitkan dengan orang-orang Yahudi; dari awal mereka sering melakukan itu. Apakah dalam konteks Indonesia hal ini dilakukan pula oleh kalangan Zionis, misalnya?


Ya, Zionis itu berbeda dengan Yahudi, sebagaimana kita ketahui. Zionis itu sebuah ideologi. Mereka bisa saja bersuku Arab, Jawa, Anglo-Saxon, orang bule atau hitam. Jadi Zionis itu bukan hanya orang Yahudi. Zionis itu kalau diintisarikan sebetulnya adalah “bagaimana menguasai pihak lain dengan cara apapun”, termasuk merampas hak orang lain, apapun konsekuensinya. Zionisme itu kemudian di dalamnya ada unsur-unsur Yahudi, Kristen, dan itu hanya masalah tambahan. Jadi Zionisme, Kolonialisme, Imperialisme, adalah satu jalan. Kita bedakan, karena ada tambahan unsur yang berbeda. Memang kalau kita kembalikan ke filsafat, semua aliran itu kembali pada dua: spiritualisme dan materialisme. Artinya, yang bertuhan atau tak bertuhan. Nah, yang tak bertuhan itu bermacam-macam variannya, begitu pula yang bertuhan.

Terakhir, melihat pelik dan krusialnya masalah ini, bagi bangsa Indonesia khususnya, maka kalau boleh kita menempatkan diri sebagai orang yang berkesadaran, apa hal pertama yang meski kita lakukan?

Yang paling penting kita lakukan adalah seperti tugas para nabi. Nabi-nabi itu dengan segala kekuatan yang diberikan Allah Swt hanya bisa menyampaikan kebenaran. Mereka punya mukjizat dan sebagainya. Memang, Allah yang Mahakuasa memang ingin manusia memilih kebenaran secara sukarela. Ini yang paling utama. Tetapi apabila kekuatan jahat itu melakukan kezaliman sedemikian rupa, sehingga merampas hak-hak untuk melakukan pendidikan dan pencerahan, mereka pun melakukan perlawanan. Misalnya, Nabi Musa as, Allah memberinya tugas kepada Firaun untuk mengajaknya kepada kebenaran, tetapi dengan “kata-kata yang lembut” (qaulan layyina). Tetapi, ketika Firaun bahkan untuk mendengarkan kebenaran saja tidak mau, menjadi represif, Musa pun melakukan perlawanan. Nabi Ibrahim pun melakukan hal yang serupa. Ketika menjelaskan kebenaran beliau kemudian dilawan dengan kekuatan, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan membela diri, kehormatan, dan mempertahankan kebenaran. Seperti dikatakan al-Quran, mula-mula dengan harta yang kita miliki, dan seterusnya.

Tidak ada komentar: