Minggu, 15 Maret 2009

Jangan Biarkan Anak Anda “Ngomong Sendiri”


Seorang teman mengeluhkan prilaku anaknya. “Bayangin… aku lihat anakku bicara sendiri di dalam kamarnya,” katanya. “apa aku mesti konsultasi dengan psikolog?” tanyanya. “Bagus,” kataku seenaknya. Kita pun berpisah.

Beberapa hari kemudian kita berjumpa lagi. “Bagaimana anakmu? Kau sudah membawanya ke psikolog?” tanyaku.

“Sudah. Ternyata, dia ketagihan sinetron yang selalu menampilkan adegan pemeran yang selalu bicara sendiri,” jawabnya dengan mulut meringis.

Seketika aku tak mampu menahan tawa. Aku memang sering lihat adegan “ngomong sendiri” di sinteron-sinetron yang juga ditonton oleh istriku di rumah.

Setelah aku perhatikan, ternyata “adegan ngomong sendiri” itu menjadi bagian “wajib” dalam dunian sinteron kita di Tanah Air. Ada sejumlah alasan di balik itu.

Pertama, para pembuat sinteron menganggap cerita sinetronnya terlalu njelimet sehingga bila tidak dibantu dengan adegan “ngomong sendiri” dikhawatirkan pemirsa tidak mengerti.

Kedua, para pembuat sinetron terlalu meremehkan pemirsa di Indonesia. Karena itu, mereka menganggap cerita-cerita yang umumnya “itu-itu juga” itu mesti disederhanakan bahkan disetarakan dengan kartun. Mereka tidak yakin bahwa alur cerita yang menarik bisa diolah sendiri oleh penonton. Padahal “ngomong sendiri” itu dimunculkan sebagai ganti dari ide di benak pemeran tokoh dalam cerita.

Ketiga, “ngomong sendiri” adalah jurus murah meriah untuk menghindari sajian skrip yang memerlukan olah pikiran, apalagi biasanya semuanya tentang cinta yang dibalut dengan keculasan, keserakahan, rebutan cewek atau cowok dan kesedihan yang minta ampun ngirisnya.

Keempat, “ngomong sendiri” adalah modus kampungan yang bisa dianggap sebagai cara para sineas menjadikan penonton sebagai keranjang sampah. Bayangkan mulai dari nenek sampai pelayan rumah semuanya cantik dan bersih. Semuanya juga dituntut untuk melakukan akting “ngomong sendiri”.

Tidak ada komentar: