Kamis, 04 Desember 2008

lanjutan PKS di Mesir...curhat anak bangsa..hiks?????

Sekedarnya saya ingin memberikan realita dari apa yang terjadi dalam tubuh PKS di Mesir, mungkin lebih tepat dikatakan sebuah keprihatinan terhadap dominasi kekuasaan yang amat berlebihan, sehingga akibatnya terjadi pencampur adukkan antara wilayah publik dan wilayah privasi bagi komunitas mahasiswa yang berdomisili di Mesir.

Akhir-akhir ini semarak gaung PKS dalam mengkampanyekan slogan partai dakwahnya di tanah seribu menara menjadi sangat merisaukan, dikarenakan apa yang digagas dan dibidangi oleh para kader PKS Mesir telah berusaha memasuki daerah preogratif setiap personal mahasiswa. Misal, ketika para antek (Saya membahasakan kader sama dengan antek) PKS -Garis bawah, para antek- pada bulan april 2006 silam mendirikan sebuah institusi yang bernama, "Tim Pemerhati Interaksi Mahasiswa (TPIM)" yang lebih saya sama dengankan dengan polisi syariah mahasiswa, terlihat jelas apa yang menjadi misi utama mereka adalah mengatur soal hubungan antara mahasiswa putra putri, sekaligus menegaskan di muka umum untuk menerapkan sistem model interaksi yang ideal dimata mereka bagi lingkungan para Mahasiswa Indonesia Mesir (Masisir).

Disini terlihat hegemoni kekuasaan yang sangat tidak perlu dan adanya pemaksaan kaum imperialis kepada orang lain yang bersebelahan pendapat dengan mereka. Apalagi institusi ini didukung sepenuhnya oleh partai yang mengatasnamakan dakwah dan memiliki anggota paling banyak di Mesir. Kejadian ini seolah mengingatkan saya ketika di jaman orde baru dimana bangsa Indonesia digiring kepada satu ideologi dan asas tunggal yang berkedok nasionalisme serta dibayangi oleh aktifitas spionase, mata-mata, informan, premanisme, penculik gelap, dan sebagainya. Begitu juga dengan lembaga 'anak bawang' PKS ini (TPIM), yang mulai sedikit demi sedikit menyebarkan informan untuk menanyai mahasiswa yang terlihat sedang berjalan dengan mahasiswi. Ditanyai status pernikahannya, atau apalah.

Kadang saya mempertanyakan perlakuan mereka para orang iseng ini, apa hak mereka bertanya seperti itu, toh kalaupun mereka tahu status orang-orang yang ditanyai sudah menikah atau belum, maka tidak patut mereka langsung menyeret ke lembaga hukum atau pihak berwenang setempat, dalam hal ini Kedutaan Besar Republik Indonesia, sebab jika memang sampai mereka melakukan itu, tak pelak sebuah chaos akan muncul di ranah mahasiswa Indonesia Mesir.

Teman saya yang biasa memberikan bimbingan belajar bagi para pelajar baru yang belum terbiasa membaca literatur-literatur berbahasa arab, makin heran dengan sikap antek PKS membentuk tim tersebut. Karena bisa jadi nanti kalau otoritas tim ini makin membesar, maka akan ada sebutan Bimbingan illegal dan bimbingan legal, lantas akan muncul birokrasi baru yang mengharuskan bagi siapa saja yang hendak membimbing pelajaran harus melapor pada lembaga itu tadi.

Sedangkan dilain sisi, organisasi pusat Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) seperti tidak mau mendengar protes dan kritikan dari mahasiswa lain yang berbeda pendapat mengenai TPIM tersebut. Ibarat masuk lewat telinga kanan, dan keluar jadi congek dari telinga kiri. Hal ini mungkin dapat saya maklumkan, karena dalam tubuh struktural PPMI sendiri pun, dari mulai Majelis Permusyawaratan Anggotanya hingga pengurus hariannya sudah tersusupi, bahkan dikuasai oleh para antek PKS. Lalu sampai dimana arti kebebasan berpikir dan sikap bagi para mahasiswa Mesir? Kalau saudari mahasiswi teman saya bilang, "Memangnya kita anak SMA yang sedang diajari tentang pacaran? Kita sudah melewati masa pubertas dan interaksi antara lawan jenis adalah persoalan biasa dalam hidup kita."

Sikap antek PKS di tubuh PPMI Mesir semakin jelas antipatinya terhadap kebebasan aktifitas dan berpikir ketika melaksanakan aksi diam terhadap program Kedutaan Besar Republik Indonesia yang hendak mengadakan lomba festival band untuk memeriahkan acara hari tujuh belas agustus 2006 nanti. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa doktrin mereka terhadap musik secara garis besar adalah haram. Walaupun ada persepsi lain yang mengatakan soal jenis musik yang diperbolehkan adalah memakai gendang dan suara vokal manusia saja, akan tetapi kejumudan (kekakuan) para aktifis PKS yang sekarang telah berkuasa ini sangat mengundang kontroversi dalam pergaulan mahasiswa Indonesia Mesir itu sendiri.

Kemudian ketika saya sering mendengarkan simbolisasi Arabian yang digunakan para kader PKS dalam berbicara dan bergaul dengan lingkungan sekitarnya, adalah menurut saya lebih menunjukkan ekslusifitas ketimbang maksud dan tujuan mereka yang menyuarakan suatu pergualan bernuansa Islami, padahal pengertian Islami sendiri bagi saya adalah bukan kita harus mengganti setiap kata bahasa baku kita sebagai bangsa Indonesia menjadi bahasa Arab. Kalau kita memang mempunyai bahasa sendiri kenapa tidak gunakan bahasa saya, aku, nyong, beta, abdi untuk berbicara, daripada mengubahnya menjadi ana, toh kita bukan berbincang-bincang dengan orang asing.

Fenomena semacam ini tak lepas dalam kehidupan budaya sehari-hari para kader PKS di tanah kinanah. Sehingga dengan efek samping sebuah hierarki basa-basi dapat menyelimuti seluruh tatanan pergaulan mahasiswa Mesir menjadi terdoktrinisasi. Dogma-dogma semacam itu juga dapat dibuktikan pada liqa dan halaqah yang sering diadakan oleh PKS. Mungkin saya setuju dengan tujuan praktis diadakan perkumpulan semacam itu adalah agar sesama umat muslim dapat saling menguatkan dan bermuhasabah serta saling berbagi pengetahuan mengenai Islam, agama yang benar. Namun ketika saya dihadapkan kepada adanya tingkatan pangkat dalam perkumpulan semisal; Murabbi, mursyid, musrif, dan sebagainya, maka saya lebih menolak untuk masuk kedalamnya. Karena bagi saya agama itu bukan doktrin, agama itu adalah sebuah kesadaran batin.

Tingkatan pangkat ini mengingatkan saya akan istilah jabatan dalam kemiliteran. Sudah pasti dimana ketika satu orang saja mempunyai jabatan tertinggi, maka ia dapat menguasai yang lainnya, bahkan memerintahkan, atau memarahi orang lain yang berpangkat rendah dibawahnya. Fenomena dogma dan militerisme dalam tubuh kader PKS dapat terlihat pada permasalahan seperti pernikahan. Para kaderawati PKS atau lebih dikenal di Indonesia dengan Mujahidah, didoktrin dalam perkumpulan yang mereka hadiri untuk menjadi seorang wanita yang harus patuh dan mengikuti apa kata suami, kalau tidak taat, jelas hukumannya neraka. Premis akhir berupa 'masuk neraka' sebenarnya adalah sebuah hak absolut yang dimiliki Allah SWT, tetapi ketika memasuki kancah pergaulan dalam tubuh PKS hal tersebut menjadi keputusan biasa untuk menjustifikasi siapa saja yang bertentangan dengan mereka. Sewaktu saya memperlihatkan sebuah novel karangan Djenar Maesa Ayu yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa dalam
bidang sastra kepada seorang teman kader PKS, maka ia langsung mengoceh tanpa membaca terlebih dahulu buku tersebut dengan kata-kata, "Buku setan.". Sebagai orang yang sangat menaruh perhatian khusus dalam sastra, saya menjadi takjub, sedemikian kuatkah penanaman doktrin mereka dalam dirinya, yang menurut saya lebih mudah disebut sikap sradak-sruduk.

Ajaran 'kalau tidak patuh pada suami akan masuk neraka' diatas seakan menjadi semacam cengkraman menakutkan bagi para mahasiswi Mesir yang mempunyai pemikiran bahwa sebuah pernikahan harus dijalani bersama-sama dalam suka dan duka, tanpa harus mengedepankan ego dan mau mengalah untuk menjalin sebuah keharmonisan berumah tangga. Maka dari itu tak jarang keluhan mereka secara samar muncul ditengah-tengah diskusi kusir mengenai pernikahan.

Siasat antek PKS Mesir untuk menguasai lini pernikahan juga terwujud dalam dukungan mereka yang menukangi sebuah lembaga fasilitator yang telah berdiri beberapa tahun sebelum TPIM, dengan nama Ruhama. Biro jodoh bernuansa agamis tersebut mulai sering digunakan oleh banyak murabbi PKS untuk menawarkan para anggota wanitanya demi meraih sebuah pernikahan, apalagi yang paling miris saya dapatkan, adanya statement bahwa dengan cara pernikahan melalui model Ruhama tersebut adalah pernikahan yang mawaddah wa rahmah dan telah mengikuti sunnah Rasul. Padahal jika ditilik lebih dalam, nampak adanya kepentingan dari para atasan untuk memasang-masangkan atau menjodoh-jodohkan antara si A dan si B.

Sebut saja misal si A adalah seorang wanita, ketika ia mengajukan diri kepada murabbinya tentang pernikahan, maka si murabbi tadi akan meminta lembaga Ruhama untuk mencarikan pasangan yang sesuai, ironisnya dari fasilitator itu sendiri kadang muncul ungkapan telah mahjuzah, atau telah dipesan. Padahal kalau memang Ruhama adalah sebuah lembaga yang adil dan fair seharusnya mengerti jika yang namanya proses ta'aruf adalah bukan sudah pasti akan menikahi si wanitanya. Dalam proses ta'aruf ada yang dinamakan Atsar, atau menolak untuk menikah, terserah dari pihak wanita atau prianya. Maka dari itu tidak sepantasnya ada kata telah dipesan tadi. Kalau memang bertujuan menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran, seharusnya ketika si wanita tadi telah siap untuk menikah, dan ternyata ada beberapa pria yang ingin berta'aruf dengannya, maka beritahu saja secara terus terang, dan biarkan si wanita berkesempatan untuk berta'aruf dan menentukan diantara pria-pria tadi, salah satu siapa
yang ia pilih.

Praktek ketidak jelasan non sportif dalam tubuh Ruhama ini adalah adanya ikut andil dari orang yang berpangkat murabbi. Sengaja ia membisikkan kepada Ruhama untuk berkata telah dipesan, karena murabbi itu telah menjodohkan wanita anak bimbingannya dengan pria lain yang menurutnya sesuai dan cocok. Ketika menemukan peristiwa ini saya sempat berkomentar bahwa hak-hak murabbi tadi telah jauh melewati batas orang tua wanita itu sendiri. Namun tidak dapat dipungkiri jika hal ini memang ada dan terjadi dalam dunia mahasiswa Indonesia Mesir.

Usaha PKS Mesir untuk mencampur adukkan wilayah publik dan privasi makin gencar, menguasai lini setiap pergaulan mungkin menjadi tujuan utama mereka. Yang jelas ketika sebuah ideologi ditungkangi oleh berbagai politisasi kepentingan, maka tak pelak lagi saya katakan dalam puisi saya, Takut Bukan Sama Tai Kucing.

Takut bukan Sama Tai Kucing

Kita tidak mungkin bisa hidup bebas kalau bukan karena melawan.
Kredo kritis kita nyatanya masih terbelenggu dalam aral.
Ketakutan yang hanya bisa menyeru tabu di mulut
Bersembunyi di keliaran hati, di sela keberanian tolol yang basa-basi.
Disaat para manusia waras dan mengaku berTuhan berhasil membalas dendam kusumat atas sejarah,
Maka ideologi akan menjadi kambing hitam untuk sebuah penyembelihan besar-besaran.

Tidak ada komentar: