Kamis, 04 Desember 2008

PKSdi MESIR, benalu atau madu??????

Disini saya memposting kembali tulisan yang dikirimkan oleh seorang kawan yang mana sedikit banyak mendukung saya untuk mempertanyakan kembali mengenai doktrinisasi PKS kepada kader-kadernya. (Walau mengambil contoh wilayah Mesir)

PKS telah menjadi sebuah fenomena tersendiri dalam perkembangan politik Indonesia kontemporer, walaupun eksistensinya telah menyebabkan tarik menarik antara yang mendukung dan yang menentang, PKS sudah membuktikan untuk menjadi yang bersih dan jujur memang perlu dekat dengan orisinalitas ajaran Islam. Sebab hingga saat ini belum ada satupun partai agama di tanah air ini yang begitu fenomenal seperti PKS ini.

Namun, karena usianya masih terbilang seumur jagung, PKS dituntut untuk mendewasakan diri dengan dinamika perpolitikan yang kompleks dan berputar begitu cepat. Di tengah-tengah masyarakat heterogen seperti Indonesia PKS memang kelihatannya sudah berusaha mengadaptasi diri ke lingkungan luar tanpa harus banyak merubah jati dirinya. Selamat, apresiasi masyarakat terhadap PKS sudah terbilang cukup positif.

Tetapi, sebagaimana manusia, PKS tidak luput dari berbagai kekurangan. Satu kekurangan yang signifikan dan mungkin akan menjadi salah satu sorotan utama publik dimasa mendatang, bahkan bisa berbalik sebagai 'senjata makan tuan' bagi PKS itu sendiri, adalah 'behavior' dari kiprah kader-kader generasi penerus PKS yang kini sedang menjalani study di negeri Mesir.

Ada apa dengan komunitas PKS di Mesir? Sebelumnya perlu diketahui bahwa Mesir adalah salah satu tujuan utama bagi pelajar/mahasiswa Indonesia yang ingin meningkatkan keilmuan Islamnya, di negeri itu terdapat sebuah lembaga pendidikan Islam bernama Al Azhar yang merupakan lembaga tertua dan terbesar pengaruhnya di kalangan umat Islam dunia, puluhan bahkan ratusan ribu alumninya tersebar ke seluruh dunia untuk berdakwah dan menegakkan agama ini. Jumlah komunitas Indonesia di Mesir (mahasiswa/i, diplomat, local staff, ekspatriat hingga TKI) saat ini hampir berjumlah 4000 orang. Walaupun suatu jumlah yang tidak begitu signifikan dibandingkan dengan komunitas ditanah air, namun komunitas ini sebagian besarnya adalah kader-kader umat yang sedang digodok keislamannya di salah satu Universitas Islam yang terbaik dimuka bumi ini. Tambahan sedikit, mungkin banyak yang bertanya-tanya, Al-Azhar dengan segala kekurangannya yang selama ini diketahui oleh beberapa kalangan, mengapa Al
Azhar masih 'laku keras'? Mungkin jawabannya ada dua:

1. Al-Azhar sangat menjaga orisinalitas literatur-literatur keIslaman.

2. Al-Azhar menekankan 'moderasi/wasathi' dan 'kontemporerasi/'asri' dalam pergerakannya.

Jalan 'keep on track' yang diambil Al Azhar inilah yang membuatnya menjadi salah satu pusat kiblat keilmuan Islam terbesar.

Kembali ke masalah kiprah kader-kader PKS di Mesir, dari 2 PEMILU pasca reformasi di Mesir, sejak masih bernama PK, PKS selalu menjadi pemenang disana. Khusus untuk PEMILU 2004, kemenangan PKS di Mesir begitu fenomenal (lebih dari 50 persen), hingga pendukung-pendukung dari partai lainpun turut ber'standing ovation' terhadap PKS Kairo, kok di tengah-tengah krisis identitas partai Islam, PKS Kairo malahan panen suara? Pertanyaan inilah yang membuat saya bangga sebagai kader umat (walaupun bukan anggota PKS) tapi juga menggelitik hati saya selama ini.

Semua sepakat, salah satu unsur yang meningkatkan perolehan suara nasional PKS secara signifikan dalam PEMILU 2004 kemarin adalah berhasilnya PKS tampil sebagai partai yang jujur, bersih dan banyak membantu masyarakat secara karya nyata, bukan sekedar karena PKS ini berdasarkan Islam atau berdasarkan simbol-simbol lainnya, apalagi dengan mengandalkan 'kultus individu', saya rasa pola gerakan partai ini modern dan sistematis. PKS dalam kampanye-kampanyenya secara meyakinkan dan persuasif dapat menggaet seluruh komponen umat, baik dari preman, seniman/artis, pengusaha hingga pejabat. Semula berbagai kalangan tidak menyangka, ternyata kalangan-kalangan yang ter'marginal'kan dalam lingkungan 'Islam garis keras' seperti preman-preman dan seniman itu secara antusias bersimpati dan mensupport penuh PKS. Dan pada saat PKS sudah berada di'atas' (jabatan) tidak pernah lupa menampilkan sikap membaurnya, contoh kecil: Ketua MPR DR. Hidayat Nurwahid 'tega' melepas pecinya di berbagai
forum publik. Setidaknya gambaran kecil tadi bisa melihat 'big picture' dari good will PKS untuk membaur.

Namun apa yang saya saksikan terhadap stream-line kader-kader PKS di Kairo, Mesir, adalah kontradiksi dengan apa yang ditampilkan induknya ditanah air. Bagaimana? Selama bertahun-tahun komunitas Indonesia di Mesir mengenal sebuah kelompok 'perkumpulan mahasiswa' (saya tidak akan menamakannya dengan ini atau itu) di mana ciri khas kelompok ini identik dengan gerakan PKS yang ada di Mesir, sebab rata-rata eksponen PKS berasal dari 'kelompok' tersebut, ciri-cirinya adalah:

1. Ekslusifitas

2. Pria berjenggot, wanita bercadar, yang pria berseragam baju koko, dan yang wanita berseragam pakaian berwarna polos dan berjilbab panjang.

3. Menjauhkan bahkan (mungkin) mengharamkan alat-alat musik kecuali gendang.

4. Dalam acara perkawinan, diharamkan kepada tamu pria untuk melihat pengantin wanita. Mereka juga cukup berperan aktif dalam hal jodoh-menjodohkan sesama mahasiswa/i.

Pada dasarnya di Mesir setiap individu dari komunitas Indonesia di sana memiliki hak untuk menjalani keyakinannya masing-masing, termasuk di antaranya ciri-ciri yang saya paparkan diatas, umumnya kalangan komunitas Indonesia disini tidak mempermasalahkan apa-apa dengan 'ciri-ciri' khas itu, kita semua ingin hidup dengan asas saling hormat-menghormati dan menginginkan ketenangan bukan keresahan. Akan tetapi, bola yang kita lempar kepada mereka ternyata tidak dimainkan dengan cantik. Untuk lebih mudah dan jelas saya akan paparkan fenomena-fenomena umum yang bernuansa agak seperti 'clash of civilization' antara komunitas Indonesia di Mesir (99,9 persen muslim sunni) dengan 'kelompok' tersebut.

1. Dalam berinteraksi, pernah ada kasus, dimana salah seorang senior yang sudah tinggal lama di Mesir, cukup berumur (di atas 50 tahun lebih) dan sudah bertitel 'MA/Master of arts' menghadari acara solat ghaib kenalan baiknya, kebetulan acara itu dipenuhi oleh orang-orang 'kelompok' itu. Setelah usai acara, tiba-tiba orangtua itu didatangi oleh seorang yang masih muda dari 'kelompok' itu, dengan sedikit/minim basa basi anak muda itu menasehati sang orangtua agar lebih memperbaiki cara berpakaiannya, padahal pakaian yang dipakai oleh orang tua tersebut cukup sopan dan menutup aurat (kemeja dan celana kasual). Untung saja orangtua tersebut cukup bijak, dia saat itu tidak bereaksi kecuali diam. Namun sebagaimana manusia biasa orangtua itu merasa sakit hati diperlakukan secara tidak layak di depan umum dan 'curhat' pada kami. Di dalam forum yang lain banyak aduan-aduan kasus yang serupa. Dalam beberapa kejadian, jika kita ingin mengunjungi rumah-rumah senior, biasanya ada
juniornya yang berperan seperti 'sekretaris' menanyakan keperluan apa kita datang kemari. Seorang mahasiswi yang masuk dalam 'kelompok' tersebut akan berkurang kebebasannya dalam berinteraksi terhadap komunitas umum. Sampai masalah kecil seperti celana jeans dijadikan masalah besar, selama itu menutup aurat itu sah-sah aja, Rasulullah saja mengadopsi mata uang dinar dari negara 'kafir' seperti Romawi untuk muamalah keseharian umat Islam.

2. Dalam berorganisasi, kini sebagian mahasiswa/i khususnya para aktifis, mengeluhkan kinerja organisasi induk mahasiswa Mesir (PPMI = Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia). Untuk menjadi seorang ketua yang memiliki hak prerogatif dalam membentuk 'kabinet', dia harus terlebih dahulu mengikuti pemilihan umum PPMI secara demokratis. Kebetulan yang menjadi ketua sekarang adalah sosok yang mendapatkan support penuh dari 'kelompok' itu. Secara otomatis sebagian besar komponen 'kabinet' sekarang dari 'kelompok' itu, kesan umum masyarakat Indonesia di Mesir adalah PPMI sekarang cenderung mengakomodir aspirasi dan interest orang-orang 'kelompok' itu, adapun selain 'kelompok' itu adalah 'yang termarginalkan'. Kalau mengingat pada masa-masa pemilihan tahun kemarin yang mengangkat 'kelompok' itu, di milist-milist banyak istilah-istilah yang cukup arogan dan provokatif dalam rangka mensukseskan kandidat 'kelompok' mereka. Dari perkataan-perkataan 'kelompok' itu seakan-akan itu berkata
"yang insaf pilihlah orang ini, yang tidak go to hell", ini menciptakan banyak resistensi. Padahal visi utama berdirinya PPMI adalah menunjang dan mendukung maslahat seluruh mahasiswa/i yang sedang belajar di Mesir dalam segala bidang. Siapapun dan dari kelompok apapun yang terpilih jadi pemimpin PPMI harus menjunjung tinggi seluruh komponen masyarakat disini. Belum lagi kalau saya ingat, pernah dalam sebuah forum mahasiswa/i di sebuah auditorium Al Azhar, salah seorang senior 'kelompok' mereka merasa kalah berargumentasi dalam suatu masalah kemahasiswaan, lalu dia mengancam "awas jangan salahkan saya jika ada sekelompok anak-anak akan mengeroyok kalian (bentrok fisik)". Bahkan dalam skala yang lebih kecil, seperti organisasi-organisasi paguyuban daerah yang dikenal oleh komunitas kami sebagai 'kekeluargaan' setiap orang dari 'kelompok' mereka jika menjadi pemimpin di kekeluargaan-kekeluargaan itu akan me'warna'kan organisasinya seperti 'warna' 'kelompok' itu. Tidak jarang
dalam prakteknya mereka melanggar kode etik/norma-norma yang sudah menjadi konsensus kekeluargaan-kekeluargaan tersebut.

3. Anda kenal Erwin Gutawwa? Seorang komposer terkemuka dinegeri kita. Pernah obsesi beliau untuk mengenalkan (dan membanggakan) negerinya yang tercinta Indonesia terbunuh oleh protes dari kalangan 'kelompok' itu. Singkat cerita, dalam rangka mengenalkan kemajuan dunia orkestra Indonesia, duta besar saat itu (Prof. Bachtiar Aly, guru besar ilmu komunikasi UI) berniat mengundang Erwin Gutawwa untuk menggelar konser di piramida Giza ,Mesir. Ternyata rencana itu tercium oleh 'kelompok' itu dan gampang ditebak, mereka menentang acara tersebut dengan dasar pertimbangan: takut orang-orang Mesir menghentikan pemberian bantuan zakat terhadap mahasiswa. Padahal orang-orang Mesir dikenal oleh dunia Islam sebagai orang yang moderat dan memang mengapresiasi karya-karya seni termasuk musik, anda kenal Ummi Kulstum? Abdel Halim hafidz? Nagiub Mahfudz? Mereka itu orang Mesir, bahkan orang-orang Ikhwanul Muslimin (Pan Islamisme Mesir) banyak berasal dari kalangan seniman termasuk
diantaranya musikus-musikus. Mungkin karena duta besar saat itu tidak mau ambil pusing, akhirnya acara tersebut digagalkan. Seorang ulama terkemuka dunia Syeikh DR. Yusuf Qardawi dalam acara TV Al Jazeera menentang habis-habisan akan sebuah anggapan sebagian umat Islam bahwa bermusik itu haram selain gendang.

4. Dalam masalah distribusi bantuan-bantuan orang Mesir untuk mahasiswa/i Indonesia, tercipta sebuah kesan bantuan-bantuan itu disyaratkan agar calon-calon penerimanya harus komit dengan prinsip-prinsip 'kelompok' tersebut, karena memang 'kelompok' itu punya link banyak dengan pihak dermawan Mesir. Padahal, bantuan itu ditujukan oleh siapa saja yang memerlukan dari mahasiswa/i, Islam menghargai perbedaan pendapat (walau sebenarnya secara aqidah kita semua di Mesir satu warna, yaitu warna Al Azhar original). Seakan-akan terjadi dikotomi, yaitu mahasiswa yang 'insaf' dan yang 'tidak insaf', kita semua mahasiswa belajar agama dan mencari identitas diri, malah yang terjadi adalah doktrin sepihak secara tidak fair.

5. Salah seorang senior di Mesir pernah bersaksi, di mana laki-laki dan perempuan dari 'kelompok' mereka berbaur dalam satu rumah tanpa cadar dan sekat (akan tetapi tetap memakai jilbab), di mana mereka saat itu sedang ngobrol bareng dengan santai. Padahal 'kelompok' itu ciri-ciri utama rumah mereka adalah wujud tirai untuk memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam acara-acara pernikahan dan resepsi perkawinan, tamu dari kalangan laki-laki tidak boleh sama sekali melihat pengantin perempuan. Ini adalah sikap yang hipokrit dan diskriminatif.

Saya sengaja tidak menuliskan seluruh fenomena yang terjadi, saya rasa kelima gambaran ini cukup memberikan sebuah image akan kiprah para (sebagian) kader-kader PKS Mesir yang ekslusif dan tidak menunjukkan goodwill untuk membaur, malah seakan-akan mereka menunjukkan arogansinya sebagai kelompok superior/mayoritas di kalangan komunitas Indonesia di Mesir. Seakan-akan orang-orang yang menuntut 'ilmu Islam' di lembaga semacam Al Azhar yang tidak mengikuti millah mereka adalah bukan dari mereka, padahal Islam mewajibkan kita untuk berdakwah dengan hikmah dan mau'izah hasanah yang intinya berdakwah dengan simpatik, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh saudara-saudara kita di PKS Indonesia.

1. Mengapa Setiawan Djodi yang gape memainkan guitar itu bisa simpatik dan support penuh ke PKS?

2. Apakah PKS masa depan akan dikuasai oleh 'kelompok' dominan PKS Mesir seperti itu?

3. Bagaimana jika suatu saat PKS malah mendapatkan resistensi dari masyarakat?

4. Dimana sikap wasathi 'kelompok' dominan PKS Mesir itu? Toleransi? Kelembutan Islam?

Ini adalah muhasabah terbesar bagi PKS, bahkan kepada Yth. DR. Hidayat Nur Wahid pun akan mengkerutkan dahinya jika membaca tulisan ini. Saya tetap berada dalam posisi mendukung kebesaran PKS untuk kebesaran Islam. Namun ingat, kebesaran itu tidak dapat diperoleh dengan Ekslusifitas dan Perasaan benar sendiri.

Kepada sebagian komunitas PKS Mesir itu harus belajar membaur dengan berlatih menerima perbedaan dan respek terhadap pendapat dan keyakinan orang lain, selama tidak melanggar aqidah, sebab kita sama-sama satu almamater yaitu Al-Azhar As-Syarif. Disaat umat Islam sedang lemah, hal yang paling efektif adalah memprioritaskan persatuan, membangkitkan semangat dan kepercayaan diri, bukan justru disibukkan oleh masalah-masalah yang tidak patut dipermasalahkan.

Tulisan ini hanya sebuah kritik terhadap sebuah kemapanan yang salah, saya tidak mengharapkan reaksi, namun aksi nyata yang membuktikan bahwa sebenarnya PKS itu milik umat Islam lintas golongan. Dan na'udzubillah jika didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu saja. (Ahmad Yakub)

2 komentar:

herizal alwi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
herizal alwi mengatakan...

Itulah bedanya antara berpolitik dan bersiyasah. Dalam konsep Islam, yang dipakai itu adalah konsep 'siyasah', bukan 'berpolitik'. Parpol Islam yang sekarang menjadi elit di pusat-pusat kekuasaan itu, kayaknya lebih berorientasi kepada pendekatan politik, dan jarang yang mau memakai lagi pendekatan 'siasah' itu.